Riwayat Hidup Al Ghazali, Seorang Ahi Teologi, Filsafat dan Tasawuf Islam
Kamis, 11 Januari 2018
Tambah Komentar
Adalah suatu keharusan bagi kita
(umat Islam) untuk mengkaji dan menyelidiki pemikiran-pemikiran seorang tokoh
yang telah berjasa besar dalam dunia ilmu pengetahuan dan khususnya dalam dunia
Islam. Mengapa demikian ? karena bukakankah orang–orang di luar Islam juga
telah mempelajari dan menyelidiki kehidupannya dan menjadikan
pandangan-pandangannya sebagai pedoman dalam kehidupannya ?
Zainal Abidin Ahmad penulis
biografi Al-Ghazali mengatakan “Fahamnya sebagai sufi bukan saja berpengaruh
besar sekali di kalangan umat Islam sampai pada masa kita ini, bahkan juga
menjadi pegangan oleh para penganut agama-agama lainnya, seperti Kristen dan
Yahudi”.[1]
Al-Ghazali dikagumi baik di dunia
Barat maupun di dunia Timur (Islam), bukan saja kehebatannya dalam ilmu
tasawuf, namun karena beliau adalah sosok tokoh yang memiliki kemampuan
dimensional dalam arti intlektual. Sehingga tak mengherankan jika Al-Ghazali mendapat
sederetan gelar sebagai penghargaannya, seperti Hujjatul Islam (Bukti Kebenaran
Islam), Bapak Ilmu Akhlak Tasawuf, Bapak Ideologi Islam, Bapak Moralis,
Perintis faham skeptis kenseptor dan pejuang politik dan lain-lainnya.
Al Ghazali - Ahli tasawuf |
Al-Ghazali sebagai seorang yang
luas dan dalam ilmunya, telah mengarang ratusan kitab, di mana pemikiran dan
ajaran-ajarannya banyak diikuti, baik di dunia Islam sendiri (termasuk
Indonesia dengan faham Ahlus Sunnahnya) dan “Bahkan pada beberapa tokoh-tokoh
(filosof) Barat kemudian pemikiran dan ajaran Al-Ghazali bayak diadopsi dan
dialihbahasakan kembali term-term filsafati dalam sosok kebangkitan dunia
Barat”.[2]
A. Riwayat Hidup Al-Ghazali
Nama lengkap Al-Ghazali adalah
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali. Karena anak pertamanya bernama
Hamid, kemudian ia dipanggil “Abu Hamid” (Bapak Hamid).[3]
Sehingga ia juga terkenal dengan nama Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad
Al-Ghazali. “Beliau lahir pada tahun 450 H. (1058 M), di suatu kampung kecil
bernama Ghazalah, Kabupaten Thus, Propinsi Khurasan, wilayah Parsi (sekarang
Iran)”.[4]
Al-Ghazali lahir di tengah-tengah
keluarga yang kurang mampu. Ayahnya bernama Muhammad, seorang penenun dan
penjual tenun di kampungnya, penghasilannya yang kecil itu tidak dapat untuk
mencukupi kebutuhan setiap harinya. Namun karena ayahnya adalah seorang muslim
yang shaleh, “Sekalipun ia seorang yang miskin dengan usaha bertenun wol dia
termasuk orang yang tekun mengikuti majelis para ulama dan pecinta ilmu yang selalu berdo’a agar
putranya menjadi seorang ulama yang pandai dan suka memberi nasihat”.[5]
Ayah Al-Ghazali juga penganut
faham tasawuf yang shaleh dan telah meninggal dunia ketika Al-Ghazali masih
kecil. Sebelum meninggal dunia, sang ayah sempat menitipkan Al-Ghazali dan
adiknya kepada seorang sahabatnya, yang juga seorang sufi dengan berkata :
“Nasib saya sangat malang, karena tidak mempunyai ilmu penegetahuan. Saya ingin
supaya kemalanganku dapat ditebus dengan kedua anakku ini. Peliharalah mereka,
dan pergunakanlah sampai habis harta warisan yang aku tinggalkan ini untuk
mengajarkan mereka”.[6]
Do’a ayahnya rupanya dikabulkan
Tuhan, Al-Ghazali dan saudaranya yang bernama Ahmad menjadi ulama besar dan pecinta
ilmu pengetahuan. Hampir seluruh
hidupnya dicurahakan untuk ilmu pengetahuan. Dia sangat gemar menuntut ilmu
penegetahuan, kemudia mengajarkannya kepada orang lain. Al-Ghazali memang orang
yang tidak pernah puas terhadap ilmu pengetahuan. Beliau selalu haus akan ilmu
dan ingin mengetahui terhadap segala sesuatu yang dilihatnya. Dalam bukunya
al-Munqidz Minal Dlalal, al-Ghazalai mengatakan :
“Aku selalu haus, ingin tahu
dengan sebenarnya segala sesuatu.
Demikian itu sejak masa mudaku merupakan sustu tabiat yang telah ditaqdirkan
Allah pada diriku bukan pilihan atas usahaku sendiri. Akhirnya terlepaslah
jiwaku dari dari belenggu taqlid dan terurailah dihadapanku kepercayaan yang telah
terpuaskan. Padahal ketika itu aku masih sangat muda……”.[7]
Dalam usia muda ia berguru pada
Ahmad bin Muhammad al-Radzikani di Thus, kemudian belajar pada Abu Nasir
al-Ismaily di Jurjan. Setelah itu ia kembali lagi ke Thus. Di sinilah ia
kemudian menjadi murid Imam al-Haramain al-Juwaini, guru besar madrasah al-Nizamiyah
di Nisyapur. “Di antara mata pelajaran-mata pelajaran yang diberikan di madarasah
ini ialah : Theologi, hukum Islam, falsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu
kalam”.[8]
Setelah Imam al-Haramain
al-Juwaini meninggal dunia pada tahun 478 H., Al-Ghazali meninggal di Nisyapur
(Naisabur) menuju Muaskar untuk bertemu dengan Nizamul Muluk, Perdana Menteri
Bani Saljuk. Muaskar adalah suatu lapangan luas di sebelah kota Naisabur di
mana di sana didirikan barak-barak militer oleh Nizamul Muluk. Di sini Al-Ghazali diterima dengan penuh
kehormatan, terutama karena kemampuannya dalam mengalahkan para ulama setempat
dalam munadzarah. Suatu saat, Al-Ghazali ikut berdiskusi dengan sekelompok
ulama dihadapan Nizamul Muluk. Ketika itu nampak keunggulan al-Ghazali. Yang
demikian itu tiada lain berkat ketinggian ilmu filsafatnya, kekayaan ilmu
pengetahuan kefasihan lisan di dalam menerangkan dan kekuatan argumentasi yang
dimiliknya, “Semua itu membuat simpati Nizamul Muluk, yang kemudian minta agar Al-Ghazali
bersedia mengajar di madrasah yang didirikan di Baghdad”.[9]
Empat tahun lamanya Al-Ghazali mengajar pada lembaga yang kenamaan itu dan
melalui jabatannya sebagai mahaguru namanya melejit, sehingga dia terhitung
salah seorang ilmuwan yang disegani dan ahli hokum yang dikagumi, tidak saja
dalam lingkungan Nizamiah, tetapi juga kalangan pemerintah di Baghdad.
“Kuliah-kuliahnya menarik dari semua golongan di tiap bagian kerajaan, yang
hendak mendengarkan uraian-urainnya tengtang ilmu Ketuhanan solastik dan
logika”.[10]
Sambil mengajar di Baghdad, ia
menulis banyak buku. Akan tetapi kesibukan mengarang buku ini tidak mengurangi
perenungan dab keotemplasi serta pengumpulannya membahas sesuatu di balik
hakikat serta keraguannya pada “kebenaran” tradisi warisan yang tak seorangpun
berfikikir untuk membuktikan kebenaran dan meneliti sumbernya. Dalam kesempatan
ini, ia juga mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, filsafat Yunani Kuno, dan
berbagai aliran agama yang muncul saat itu dengan tujuan agar dapat membantu
mencapai pengetahuan yang benar.
Setelah empat tahun, ia bertekad
meninggalkan tugasnya mengajar di Baghdad untuk menunaikan ibadah haji setelah
itu menuju Syiria dan tinggal di Jami’ Al-Alawi, di sini ia hidup sebagai orang
yang tekun beribadah, dan ia mulai mengembara di padang pasir, melepaskan semua
tanda-tanda kebesaran, bertahan dalam hidup serba kekurangan, mendalami masalah
rohaniah dan memikirkan masalah keaagamaan. Demikianlah Al-Ghazali membekali
dirinya dengan keberagaman yang benar dan mensucikan dirinya dari segala godaan
dunia, hingga menjadi orang pertama dalam filsafat sufistik dan pemimpin
tokoh-tokoh besar pembela Islam.
Selama sepuluh tahun
ditinggalkannya Baghdad berada di pengasingan untuk memperoleh tingkat
kebenaran itu, “Yaitu kebenarannya yang diyakininya betul-betul merupakan
kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari tiga”.[11]
Di waktu ‘uzlah inilah Al-Ghazali sempat menulis karya besarnya yang berjudul
“Ihya ‘Ulumuddin” (menghidupkan kajian ilmu-ilmu agama). Sikap it u terus mempengaruhi jiwanya sehingga ia
hampir-hampir meninggalkan kedudukan akademiknya untuk selamanya.
Meditasi Al-Ghazali berakhir pada
tahun 498 H. / 1005 M, ketika ia mendapat tawaran dari Fakhrul Muluk putra
Nizamul Muluk untuk mengajar lagi di perguruan tinggi Nizamiyah di Naisabur”.[12]
Sekarang dia tampil lain. Kalaulah dulu hanya seorang guru yang mengajarkan
ilmu-ilmu agama saja, kini ia menjadi seorang pemimpin yang sufi dan mengemban
risalah yang teguh, “Pada saat inilah (di Baghdad) Al-Ghazali menulis karyanya
al-Munqiz Dlalal”.[13]
Buku ini merupakan buku referensi yang penting bagi para ahli untuk mengetahui
kehidupan al-Ghazali, terutama bagaimana beliau mencari kebenaran yang hakiki
serta mencapai pengetahuan yang yakin tanpa melalui penalaran yang logis,
tetapi melalui ilham dan penyingkapan yang sufistik”.[14]
Setelah selang beberapa waktu,
kembalilah beliau ke tempat kelahirannya
di Thus. “Di sini beliau mengasuh sebuah khandaqah (semacam pesantren sufi) dan
wafat di tempat kelahirannya dipangkuan saudaranya sendiri yaitu Ahmad pada
tahun 505 H (1111 M.) dalam usia 55 tahun”.[15]
Begitulah kehidupan Al-Ghazali yang
mirip sebuah lingkaran berakhir di titik permulaannya. Ia dilahirkan di Thus,
kemudian meninggal di Thus juga. Demikian juga karir ilmiahnya yang dimulai
dari seorang guru, diakhiri seorang guru juga.
B. Latar Belakang Konsep Al-Ghazali
Mempelajari atau membahas
pemikiran seorang tokoh haruslah selalu dikaitkan dengan kondisi sosial yang
mengitarinya, apalagi jika yang kita kaji adalah pemikirannya dalam bidang
pendidikan. Hal ini karena “Konsep-konsep kependidikan itu pada hakikatnya
tidak terlepas dari aspirasi bangsa yang hidup pada masanya”.[16]
Aspirasi dari bangsa itulah yang
mempengaruhi ide dan corak pemikiran masyarakatnya. Begitu pula apabilaingin
mempelajari seorang tokoh seperti al-Ghazali, kita harus melihat kondisi
politik dan sejarah yang mengitarinya. A. Syafi’i Ma’arif dalam bukunya Peta
Bumi Intlektualisme Islam di Indonesia, mengatakan :
“Membaca Al-Ghazali tanpa
memperhitungkan rasio politik dan historis yang melingkari pertumbuhan
pemikiran tokoh ini dapat memberikan citra kurang utuh, sebab ia adalah produk
sejarah. Al-Ghazali muncul sebagai Al-Ghazali yang kita kenal adalah produk kekuatan-kekuatan
spiritual sejarah pada abad ke-11 Miladiyah. Sebagai seorang yang dikaruniai
hati nurani yang peka tajam Al-Ghazali telah berdialog dengan zamannya dengan
sangat intens, berani kemudian ia mengambil keputusan untuk menentukan posisi
pilihannya dengan sikap yang mantap……”.[17]
Al-Ghazali hidup pada masa
munculnya aliran-aliran dalam agama Islam. Di mana masing-masing aliran yang
muncul saling mengakui bahwa aliran dirinya itulah yang paling benar, dan
merekalah yang selamat. “Adanya pertentangan dari masing-masing aliran itu
adalah laksana samudera yang sangat dalam sekali, dimana telah tenggelam
kebanyakan dari mereka”.[18]
Berbeda sekali dengan masa
Rasulullah saw. dimana pada masa itu umat Islam masih bersatupadu, belum muncul
aliran-aliran atau firqah-firqah yang bermacam-macam. Hal ini dapat dimaklumi
karena pada masa ini, permasalahan atau kasus yang ada belum begitu kompleks,
sementara wahyu masih terus turun sehingga setiap permasalahan atau kasus yang
ada dapat langsung terjawab. Kemudian setelah wafatnya Rasulullah saw.,
mulailah muncul permasalahan-permasalahan dalam menentukan siapa yang
seharusnya menjadi khalaifah penggganti Rasulullah saw. tersebut. Sebagaimana
digambarkan oleh KH. Sirajuddin Abbas dalam bukunya I’tiqad Ahlussunnah wal
Jama’ah :
“Begitu sepeninggalnya Rasulullah
berkumpulah orang-orang dari sahabat Bani Sa’idah untuk memilih khalifah
pengganti Nabi, yang dipimpin oleh Sa’ad bin Ubadah dari suku Khazraj.
Mendengar hal ini kaum Muhajirin datang bersama-sama ke Balairung yang dipimpin
oleh Sayyidina Abu Bakar ra. Sesudah terjadi perdebatan yang agak sengit antara
kaum Ansor dan Kaum Muhajirin, bersepakatlah mereka untuk mengangkat sahabat
yang paling utama, yaitu Abu Baka Sidiq sebagai khalifah yang pertama”.[19]
Permasalahan rupanya terus
meningkat, yang puncaknya pada mas khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Di
mana pada masa khalifah keempat ini munculah dua tantangan besar yang harus
segera diselesaikannya. Dua tantangan itu adalah pertama, dating dari Thalhah
dan Zubair dari Makkah yang didukung oleh Siti ‘Aisyah Umil Mu’minin rah. Di
mana tantangan ini dapat segera dapat dipatahkan yang dikenal dengan peperangan
Jamal (Perang Onta), karena tentara Siti ‘Aisyah mengenderai onta. Peperangan
ini terjadi pada tahun 656 M. Tantangan kedua dating dari Mu’awiyyah bin Abi
Sufyan, Gubernur Damaskus dari kalangan keluarga yang dekat dengan Sayyidina
Usman bin Affan. Peperangan ini dinamakan peperangan Siffin, karena terjadi di
suatu tempat yang bernama Siffin.
“Sesudah terjadi peperangan
Siffin, peperangan saudara sesame Islam, yaitu antara tentara Khalifah Alin bin
Abi Thalib dengan tentara Mu’awiyyah bin Abi Sufyan pada tahun 37 Hijriyah
timbul pula firqah Khawarij (sebagai lawan dari firqah Syi’ah), yaitu
orang-orang yang keluar dari Sayyidina Mu’awiyyah ra. Dan dari Sayyidina Ali
ra.”[20]
Dari permasalahan-permasalahan
yang pada mulanya hanyalah masalah politik, akhirnya menjalar pula pada masalah
aqidah (Teologi), yaitu persoalan saling kafir mengkafirkan. Sehingga sebagai
reaksinya muncul beberapa firqah yang lain seperti : Qodariyah, Jabariyah,
Murjia’ah, dan yang sangat dominant adalah Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
Harun Nasution dalam bukunya
Teologi Islam mengungkapkan “Persoalan-persoalan yang terjadi di lapangan
politik sebagai digambarkan di atas inilah akhirnya membawa kepada timbulnya
persoalan-persoalan Teologi. Timbulah persoalan-persoalan siapa yang kafir
dalam arti sispa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap
Islam”.[21]
“Di sisi lain sebagai akibat
diterjemahkannya buku-buku asing (Yunani), lahirlah golongan Filosof yang
cenderung mengembangkan teori-teori Plato, Aristoteles, dan Neoplatinisme”.[22]
Yang akhirnya dari kedua aliran di atas (Teologi dan filsafat), maka munculah
pula aliran baru yaitu aliran kebatinan (aliran Bathiniyah), yang menekankan
pencarian kebenaran berdasarkan batin (hati) dan bukan berdasarkan indera atau
akal semata.
Al-Ghazali sebagai pemuda yang
selalu haus akan ilmu pengetahuan dan selalu ingin tahu hakikat segala sesuatu,
maka beliau berusaha untuk menceburkan diri dalam rangka untuk mempelajari dan
mengkaji aliran-aliran yang ada itu. Beliau sendiri mengatakan “Aku selalu haus
ingin tahu dengan sebenarnya segala sesuatu. Demikian itu sejak masa mudaku
merupakan sustu tabiat yang ditaqdirkan Allah pada diriku, bukan pilihan atau
usahaku sendiri”.[23]
Melalui usahanya yang gigih dalam
mencari kebenaran yang diyakininya tanpa ragu-ragu senagaimana tidak
ragu-ragunya sepuluh itu lebih besar dari pada tiga, menjadi beliau mampu tampil
berbeda dengan tokoh-tokoh sebelumnya. Adapun jalan yang ditempuhnya setelah
mempelajari aliran-aliran yang ada adalah jalan tasawuf. “Demikianlah menempuh
jalan-jalan tadi (Teologi filosofi, bathiniyah, dan sufi). Aku mulai dengan
ilmu kalam, ilmu filsafat, kemudian ajaran bathiniyah dan akhirnya menempuh
jalan sufi”.[24]
Demikianlah latar belakang yang
mempengaruhi pemikiran Al-Ghazali sehinga beliau tampil sebagai beberapa
pendapatnya tokoh Islam yang berbeda dengan tokoh-tokoh sebelumnya.
C. Karya-Karya Al-Ghazali
Kiranya sangat sulit untuk
menentukan bidang dan spesialisasinya apa yang digeluti oleh Al-Ghazali. Karena
Al-Ghazali adalah tokoh yang memiliki dan menekuni aneka ragam ilmu
pengetahuan. “Hampir semua aspek ilmu keagamaan yang dikajinya”.[25]
Sehingga beliau lebih layak mendapata
gelar “Hujjatul Islam” (bukti kebenaran Islam).
Keanekaragaman ilmu yang dukuasai
Al-Ghazali, dapat dilihat dari hasil-hasil karyanya yang meliputi berbagai ilmu
pengetahuan. Mustafa Galab sebagaimana dikutip oleh M. Bahri Ghazali,
mengemukakan “Al-Ghazali telah meninggalkan tulisannya berupa buku dan karya
ilmiah sebanyak 228 kitab yang terdiri dari aneka ragam ilmu penegetahuan”.[26]
Tetapi karya-karyanya yang
sebanyak itu kebanyakan telah hilang dan musnah, sehingga yang dapat kita
nikmati sebagai bacaan kurang lebih hanya berjumlah 47 kitab, sebaagaimana
dikemukakan Zainuddin dan kawan-kawan yang meliputi bidang-bidang sebagaimana
di bawah ini :
Bidang Filsafat dan Ilmu Kalam :
- Maqasid al-Falsifah (Tujuan Para Filosof).
- Tahafut al-Falsifah (Kerancuan Para Filosof).
- Al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Moderasi dalam Aqidah).
- Al-Munqiz min al-Dhalal (Pembebas dari Kesesatan).
- Al-Maqasidul Asna fi Ma’ani Asimilah Al-Husna (Arti Nama-nama Tuhan yang Bagus).
- Faishalut Tafriqah bainal Islam waz Zindiqah (Perbedaan antara Islam dan Zindiq).
- Al-Qishasul Mustaqoim (Jalan untuk Mengatasi Perselisihan Pendapat).
- Al-Mustadhiri (Penjelasan-penjelasan).
- Hajatul Haq (Argumen yang Benar)
- Mufsilul Khalifah fi Ushuluddin (Memisahkan Perselisihan dalam Ushuluddin).
- Al-Muntahal fi ‘Ilmil Jidal (Tata Cara dalam Ilmu Dikusi).
- Al-Madznun ‘ala Ghairi Ahlihi (Persangka pada Bukan Ahlinya).
- Mahkun Nadlor (Metodologika).
- Asraaru ‘Ilmiddin (Rahasis Ilmu Agama).
- Al-Arbain fi Ushuluddin (40 Masalah Agama).
- Iljamul Awwam ‘an ‘Ilmil Kalam (Menghalangi Ilmu Orang Awam dari Ilmu Kalam).
- Mi’yarul ‘Ilmil (Timbangan Ilmu).
- Al-Intishar (Rahasia-rahasia Alam).
- Isbatun Nadlor (Pemataban Logika).
Bidang Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh,
meliputi :
- Al-Bashit (Pembahasan yang Mendalam).
- Al-Washit (Perantara).
- Al-Wajiz (Suara-suara Wasiat).
- Khulasathul Mukhtashar (Intisari Ringkasan Karangan).
- Al-Musyatasfa (Pilihan).
- Al-Mankhul (Adat Kebiasaan).
- Syifakhul ‘Alil fi Qiyas wat Ta’lil (Penyembuh yang Baik dalam Kiyas dan Ta’lil).
- Adz-Dzari’ah ilaa Makarimis Syari’ah (Jalan pada Kemuliaan Syari’ah)
Bidang Ilmu Akhlaq dan Tasawuf,
meliputi :
- Ihya ‘Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama).
- Mizanul Amal ( Timbangan Amal).
- Kimiyaus Sa’adah (Kimia Kebahagiaan).
- Misykatul Anwar (Relung-relung Cahaya).
- Minhajul ‘Abidin (Pedoman Beribadah).
- Ad-Dararul Fakhirah fi Kasyfi Ulumil Akhirah (Mutiara Penyingkap Ilmu Akhirat).
- Al-Ainis fi Wahdah (Lembut-lembut dalam Kesatuan).
- Al-Qurbah Ilallahi Azza wa Jalla (Mebdekatkan Diri kepada Allah).
- Akhlakul Abrar wan Najat Minal Asraar (Akhlak yang Luhur dan Menyelamatkan dari Keburukan).
- Bidayatul Hidayat (Permulaan Mencapai Petunjuk).
- Al-Mabasi wal Ghayah (Permulaan dan Tujuan).
- Tablisul Iblis (Tipu Daya Iblis).
- Nashihatul Mulk (Nasihat untuk Raja-raja).
- Al-Ulumul Laduniyyah (Ilmu-ilmu Laduni).
- Al-Ma’khadz (Tempat Pengambilan).
- Al-Amali (Kemuliaan).
Bidang Ilmu Tafsir, meliputi :
- Yaquutut Ta’wil fi Tafsirit Tanzil (Metodologi Ta’wil dalam Tafsir yang Diturunkan).
- Jawahirul Qur’an (Rahasia yang Terkandung dalam Al-Qur’an).[27]
Disamping karya-karya sebagaimana
tersebut di atas, masih ada karyanya berupa manuskrip yaitu antara lain :
Bidang Tasawuf :
- Jami’ul Haqaiq Bitajribatul ‘Alaiq, ada ringkasan tangan di perpustakaan Usaha.
- Zuhdul Fatih, terdapat ringkasan tangan di museum Britain.
- Madkholus Suluk ilaa Manazilil Mulk, membahas tentang kehidupan sufi.
- Ma’arijus Saalikin, ada ringkasan tangan di perpustakaan Paris.
- Nurusy Syam’ah fi Bayani Dlurhil Jami’ah, ada ringkasan tangan di Leiden.
Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh :
- Al-Basihit fil Furu ‘Ala Nihayah al-Muthlab li Imam al-Haramain, ringkasan di Makkah dan Darul Kutub di Mesir.
- Ghayah Masaiul Daur, ringkasan di Perpustakaan Museum Britain.
- Al—Mankhul fil Ushul, ringkasan di Darul Kutub Mesir.
- Al-Washitul Muthith bi Iqtaharil Basith, ringkasan tangan di perpustakaan Muenchen dan di Darul Kutub Mesir.
Bidang Filsafat :
- Haqaiqul Ukim li Ahli Fahm, ada ringkasannya di perpustakaan Paris.
- Al-Ma’ariful Aqliyah wal Hikmatul Illahiyah, ada ringkasan di perpustakaan Paris dan Oxford.
- Fadlailul Qur’an, ada ringkasan tertulis di Darul Kutub Mesir”.[28]
Demikianlah beberapa karya Al-Ghazali
yang dapat kita baca dan kita temukan di berbagai perpustakaan dan telah banyak
menjadi bahan rujukan dan bahan kajian oleh para ahli ilmu pengetahuan. Ini
menunjukkan bahwa karya Al-Ghazali mempunyai andil besar dalam perkembangan
dunia ilmu pengetahuan.
D. Kemasyhuran Al-Ghazali
Adalah hal yang wajar bagi
seorang tokoh yang kontroversial, selalu ada yang pro dan kontra. Ada sebagian
mereka yang mengagumi dan memujinya setinggi langit, namun ada juga yang
membenci, mencaci, dan mengkritiknya habis-habisan. Demikian juga halnya yang
terjadi pada diri seorang seperti al-Ghazali, ia tak lepas dari kawan yang
sepaham dan lawan yang menentang.
Suatu penelitian kritis, obyektif
dan mendalam hendaknya menerima dan menyelidiki segala pujian dan celaan yang
dating, sebagaimana disinyalir Sulaiman Dunia yang dikutip oleh Zainuddin :
“Maka adalah sustu kewajiban atas
setiap orang yang mau mengenal al-Ghazali, supaya berpindah-pindah diantara
berbagai golongan itu, sehingga membuka telinga terhadap pujian dan celaan.
Sebab pemimpin tidaklah dikenal dengan hanya mendengarkan cacian dan tidak pula
pujian simpatisannya belaka, karena keduanya melampaui batas”.[29]
Diantara mereka yang memuji dan
menyanjung Imam al-Ghazali, atau minimal sepaham dengan pemikirannya adalah
sebagai berikut :
- Zwemmer (orientalis Inggris), ia menempatkan Al-Ghazali pada urutan keempat setelah Rasulullah, al-Bukhari, dan al-Asy’ari.
- As-Subhi, ia mengatakan “Seandainya ada nabi setelah Muhammad, maka ia adalah al-Ghazali”.
- Edward E. Jurji, yang membandingkan Al-Ghazali dengan St. Agustine dan Thomas Aquinas (tokoh Kristen).
- Muhammad al-Hadrami, yang menempatkan Al-Ghazali pada urutan ketiga setelah Rasulullah saw. dan As-Syafi’i.
- Muhammad Badawi Thabanah, beliau mengagumi kecerdasan al-Ghazali, yang menurutnya tidak mungkin lembaran-lembaran sejarah menggambarkannya secara lengkap dan sempurna”.[30]
Dan masih banyak para tokoh lain
yang mempunyai pemikiran yang seirama dengan al-Ghazali, dan bahkan ada yang
telah menulis riwayat hidupnya, pemikiran-pemikirannya baik dalam masalah
pendidikan maupun dalam masalah ilmu pengetahuan, seperti Fathiyah Hasan
Sulaiman, Harun Nasution, Thoha Abdul Baqi Surur, Syafi’i Ma’arif, dan juga M.
Bahri Ghazali.
Terlepas dari mereka yang memuji
dan yang menyanjungnya, ternyata ada juga diantara pakar ilmu pengetahuan yang
mencaci, mengecam, dan mengkritiknya dengan sangat tajam. Diantara mereka
adalah :
- Fuad Al-Ahwani, Guru Besar Cairo University, yang menganggap bahwa Al-Ghazali telah menyembelih dunia Islam seperti orang menyembelih ayamnya yang bertelurkan emas, yang lahir dikalangan Islam.
- Ibnu Rusyd (filosof sekaligus ulama), menghantamnya habis-habisan di lapangan ilmu filsafat, karena bukunya Tahafutul Falasifah, yaitu dengan melalui karyanya Tahafut at-Tahafut (keracunan dalam keracunan).
- Ibnu Taimiyah, seorang Ulama Salaf yang telah mengupas pendiriannya di lapanagan ilmu tasawuf, yang dianggapnya menyesatkan.
- Ibnu Qoyyim, seorang pakar fiqh Islam, menyalahkan di lapangan ilmu hokum, karena fatwa-fatwanya banyak yang bertentangan dengan sysri’at.
- Zaki Mubarok, mengecamnya di lapangan ilmu akhlak, karena dianggapnya paham-pahamnya sangat melumpuhkan jiwa dan api Islam”.[31]
“Demikianlah juga Oemar Hoesen
(sarjana muslim Indonesia), yang menganggap bahwa Al-Ghazali sebagai langkah
awal dari kemunduran kebudayaan Islam, karena kejayaan yang diperolehnya
menyerang natural sciences”.[32]
Menurut Zainuddin, anggapan
seperti yang diungkapkan di atas
berlebihan dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Dalam hal ini beliau
mengatakan :
“Sebenarnya anggapan yang
sedemikian itu berlebih-lebihan, harus memerlukan penelitian yang lebih jauh
kritis mendalam, dan obyektif, dengan mengemukakan fakta-fakta sejarah yang
otentik, bukan hanya menyebarkan isu negatif yang kurang mempunyai dasar atau
bahkan mengandung unsur kedzaliman belaka yang mengutamakan emosional daripada
argumentasi rasional logis”.[33]
Kembali penulis akan membicarakan
kemsyhuran dan kebesaran al-Ghazali, yang ternyata beliau bukan hanya dikenal
di dunia Timur (Islam), namun juga dikenal di dunia Barat (non Islam). Zainal
Abidin Ahmad telah menulis riwayat hidup Al-Ghazali dengan panjang dan lebar
yang menurut penulis telah mencukupi bagi kita yang ingin mengetahui bagaimana
liku-liku kehidupan al-Ghazali.
Salah satu bab beliau yang
ditulis (bab III) adalah mengenai popularitas tinggi yang telah membumbung
tinggi. Diantara popularitas tinggi yang pernah dicapainya adalah :
- Menjadi penasihat tinggi pemerintah (perdana menteri), hal ini terjadi pada tahun 476 H. (1085 M.) dan berjalan selama lima tahun.
- Penceramah Agung, yaitu memberikan ceramah dihdapan para ahli ilmu, para pembesar, dan cendikiawan.
- Presiden (profesor) universitas di Baghdad. Jabatan ini diangkat langsung oleh perdana menteri yang termasyhur pada waktu itu, yaitu Nizamul Mulk pada tahun 1091)
- Perintis faham skeptis di dunia. Selama 30 tahun lamanya Al-Ghazali dalam skeptis (kebimbangan), yang diakuinya telah merasuk ke dalam hatinya semenjak berumur 20 tahun dan barulah berakhir setelah berumur 50 tahun.
- Bapak ilmu akhlaq tasawuf. Al-Ghazali menemukan kebenaran yang dicarinya di dalam ilmu tasawuf (mistik). Di sinilah perbedaan Al-Ghazali dengan sarjana-sarjana Eropa yang sama-sama menganut faham skeptis, tetapi pada akhirnya menempuh jalan yang menyimpang jauh dari agama”.[34]
Demikian kemasyhuran dan
kebesaran al-Ghazali, yang mencakup berbagai disiplin ilmu pengetahuan,
Sulaiman Dunia mengakuinya bagaikan sekuntum bunga yang dapat menerima segala
warna.
Zwemmer mengatakan “Bahwa ada
empat orang yang paling berjasa dalam Islam, yaitu Nabi Muhammad, Imam Bukhori,
Imam al-Asy’ari dan Imam al-Ghazali”.[35]
Demikian juga dalam menjawab
pertanyaan tentang nilai karangan-karangan al-Ghazali, Ulama besar Quthbul Yaman Ismail al-Hadrami
mengatakan “Ada tiga Muhammad dalam Islam yaitu Muhammad bin Abdullah adalah
penghulu nabi-nabi, Muhammad bin Idris as-Syafi’i penghulu para imam, Muhammad Al-Ghazali
penghulu segala pengarang”.[36]
Demikianlah kemasyhuran Al-Ghazali
yang penuh dengan pujian dari para ilmuwan, baik di dunia Barat maupun di dunia
Timur. Hal ini menunjukkan betapa luasnya ilmu Al-Ghazali yang hingga kini
pemikiran-pemikirannya dalam dunia pendidikan masih terus dikaji dan
dikembangkan, karena masih relevan dengan dunia pendidikan pada masa sekarang.
Belum ada Komentar untuk "Riwayat Hidup Al Ghazali, Seorang Ahi Teologi, Filsafat dan Tasawuf Islam"
Posting Komentar
Mohon tidak mengirimkan SPAM ke Blog ini !
Saling Berbagi Sobat