PTK [BAB II] Meningkatkan Hasil Belajar Siswa dengan Menggunakan Metode Pembelajaran Team Assisted Individualiszation (TAI) pada Mata Pelajaran Fiqih


BAB II
KAJIAN PUSTAKA


A.    Tinjauan tentang Hasil Belajar
  1. Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar adalah “sesuatu yang diadakan oleh usaha belajar peserta didik”[1]. Tidak jauh dari pengertian tersebut Mulyono Abdurrohman mendefinisikan hasil belajar sebagai “kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar”.[2]
Soejono mendifinisikan hasil pendidikan yaitu “situasi kematangan anak didik pada akhir usaha pendidik”.[3] Sedangkan Nana sudjana memberikan definisi hasil belajar adalah “kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya”.[4]
Dari pendapat para pakar di atas dapat dirumuskan secara sederhana bahwa hasil belajar adalah sesuatu yang dicapai seseorang setelah  melakukan aktivitas-aktivitas sesuai kemampuan yang dimiliki. Atau hasil belajar dapat diartikan sebagai sesuatu yang dicapai peserta didik setelah berinteraksi dengan lingkungan belajar sehingga menghasilkan tingkah laku atau kecakapan baru yang relatif permanen.
  1. Macam-Macam Hasil Belajar
Muhibbin Syah dalam bukunya yang berjudul psikologi pendidikan dengan pendekatan baru mencatat bahwa “Bloom dan kawan-kawannya mengelompokkan hasil belajar sesuai dengan taksonomi Bloom yaitu ke dalam kawasan kognitif, afektif dan psikomotor”.[5]
Dalam buku Belajar & Pembelajaran, Dimyati mengutip teori Bloom mengatakan bahwa “taksonomi ini mampu untuk mempelajari jenis perilaku dan kemampuan internal akibat”.[6]
Secara hierarkis taksonomi ini terperinci dalam urutan, sebagai berikut:
a.       Ranah Kognitif terdiri dari enam jenis perilaku
1)      Pengetahuan, peserta didik mencapai kemampuan ingatan tentang materi yang telah dipelajari dan tersimpan dalam memori.
2)      Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap arti dan makna tentang sesuatu masalah yang baru.
3)      Penerapan, mencakup kemampuan menerangkan metode dan kaidah untuk menghadapi masalah baru,
4)      Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian yang sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik.
5)      Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru.
6)      Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk suatu pendapat tentang beberapa hal berdasarkan kriteria tertentu. [7]

Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungakan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut.
b.      Ranah Afektif terdiri dari lima perilaku
1)      Penerimaan, mencakup kepekaan tentang hal tertentu dan kesediaan memperhatikan hal tersebut.
2)      Partisipasi, mencakup kerelaan, kesediaan memperhatikan dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan.
3)      Penilaian dan penentuan sikap, yang mencakup menerima suatu nilai, menghargai, mengakui dan menentukan sikap.
4)      Organisasi, mencakup kemampuan membentuk suatu sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan hidup.
5)      Pembentukan pola hidup, mencakup kemampuan menghayati nilai dan membentuk menjadi pola nilai kehidupan pribadi.[8]

c.   Ranah psikomotor terdiri dari tujuh jenis perilaku
1)      Persepsi,  mencakup  kemampuan  memilah-milah  sesuatu  secara khas dan menyadari adanya perbedaan khas tersebut.
2)      Kesiapan, mencakup kemampuan penempatan diri dalam keadaan dimana akan terjadi suatu gerakan atau rangkaian gerakan. Kemampuan ini meliputi jasmani dan rohani.
3)      Gerakan terbimbing, mencakup kemampuan melakukan gerakan sesuatu contoh, gerakan peniruan.
4)      Gerakan yang terbiasa, mencakup kemampuan melakukan gerakan-gerakan tanpa contoh.
5)      Gerakan kompleks, yang mencakup kemampuan melakukan gerakan atas keterampilan yang terdiri dari banyak tahap secara lancar, efisien dan tepat.
6)      Penyesuaian pola gerakan, mencakup kemampuan mengadakan perubahan dan penyesuaian pola gerak-gerik dengan persyaratan khusus yang berlaku.
7)      Kreativitas, mencakup kemampuan melahirkan pola gerak-gerak yang baru atas dasar prakarsa sendiri.[9]

Hasil belajar keterampilan (psikomotor) dapat diukur melalui: pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung, sesudah mengikuti pembelajaran, yaitu dengan jalan memberikan tes kepada peserta didik untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap, beberapa waktu sesudah pembelajaran selesai dan kelak dalam lingkungan kerjanya.
Menurut Bloom dalam Rusmono, hasil belajar merupakan perubahan  perilaku  yang  meliputi  tiga  ranah,  yaitu:  
a)    Ranah kognitif, yang meliputi tujuan-tujuan belajar yang berhubungan dengan memanggil kembali pengetahuan dan pengembangan kemampuan intelektual dan keterampilan.  
b)   Ranah afektif, meliputi tujuan-tujuan belajar yang menjelaskan perubahan sikap, minat, nilai-nilai dan pengembangan apresiasi serta penyesuaian.
c)    Ranah psikomotor yang mencakup perubahan perilaku yang menunjukkan bahwa siswa telah mempelajari keterampilan manipulatif fisik tertentu.[10]

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam proses belajar mengajar guru harus terampil memilih metode mengajar sehingga tujuan yang hendak dicapai dapat terlaksana dengan baik yakni hasil belajar yang maksimal, karena pemilihan metode disini tiada lain adalah guna meningkatkan daya serap siswa terhadap pelajaran yang diberikan.

  1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan hasil internal maupun eksternal. Menurut E. Mulyasa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat digolongkan menjadi empat, yaitu:
a)      Bahan  atau  materi  yang  dipelajari;
b)      Lingkungan
c)      Faktor instrumental
d)     Kondisi peserta didik[11]

Faktor-faktor tersebut baik terpisah maupun bersama-sama memberikan kontribusi tertentu terhadap peserta didik. Apabila hanya salah satu factor saja maka hasil belajar masih terlihat pincang. Tetapi apabila keseluruhannya berjalan positif bersamaan maka hasil belajar siswa yang diharapkan akan mudah untuk tercapai.
Berbeda dengan Mulyasa, Muhhibin Syah menambahkan:
“Faktor pendekatan belajar sebagai salah satu faktor yang juga berpengaruh terhadap taraf keberhasilan proses pembelajaran siswa. Seorang siswa yang terbiasa mengaplikasikan pendekatan deep misalnya, mungkin sekali berpeluang untuk meraih hasil beajar yang bermutu  daripada yang menggunakan pendekatan belajar surface atau reproductive”.[12]

Uraian di atas menunjukkan bahwa hasil belajar bukan sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang melatarbelakangi. Jadi, karena berpengaruh faktor-faktor tersebut, muncul siswa-siswa yang high  achievers  (berhasil  tinggi)  dan  under achievers (berhasil rendah) atau gagal sama sekali.
Sumadi menjabarkan bahwa “faktor-faktor yang berasal dari luar diri pelajar dapat digolongkan menjadi dua golongan dengan catatan bahwa overlapping tetap ada, yaitu faktor sosial dan faktor non sosial.[13]
Faktor sosial menyangkut hubungan antar manusia yang terjadi dalam berbagai situasi sosial, yakni lingkungan keluarga, sekolah, teman dan masyarakat pada umumnya. Sedangkan faktor non sosial yaitu faktor-faktor lingkungan yang bukan sosial seperti lingkungan alam dan fisik, misalnya keadaan rumah, ruang belajar, fasilitas belajar, buku-buku sumber dan sebagainnya.
Disamping itu Mulyasa menambahkan “diantara beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi proses dan hasil belajar adalah peranan guru atau fasilitator”.[14] Pada sistem pendidikan dan khususnya pembelajaran yang berlaku dewasa ini peranan guru dan keterlibatannya masih menempati posisi penting, terutama efektifitas pengelolaan materi pembelajaran dan lingkungan belajar.
Sekalipun banyak pengaruh dan rangsangan dari faktor eksternal, keberhasilan belajar peserta didik juga ditentukan oleh faktor internal (yang berasal dari dalam diri peserta didik itu sendiri), beserta usaha yang dilakukannya. Menurut Muhibbin “faktor yang berasal dari dalam diri siswa sendiri meliputi dua aspek, yakni aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah) dan aspek psikologis (yang bersifat rohaniah).[15]
Diantara faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi pencapaian hasil belajar, inteligensi merupakan dasar potensial bagi pencapaian hasil belajar. Artinya hasil belajar yang dicapai akan bergantung pada tingkat intelegensi yang dimiliki peserta didik. Semakin tinggi tingkat intelegensinya makin tinggi pula kemungkinan tingkat hasil belajar yang dapat dicapai.

B.     Tinjauan tentang Kompetensi Guru
1.      Pengertian Kompetensi Guru
Menurut UU Guru dan Dosen, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama, mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan menengah.
Bertitik tolak dari pengertian diatas maka seorang guru dalam menjalankan tugasnya harus memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Kompetensi menurut Broke and Stone dalam bukunya Usman merupakan “gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru yang tampak sangat berarti”.[16]
Menurut Sudjana kata “profesional” berasal dari kata sifat yang berarti “pencaharian, dan sebagai kata benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian”.[17] Dengan kata lain pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain.
Berdasarkan rumusan diatas dapat disimpulkan bahwa seorang guru yang profesional adalah guru yang memiliki kemampuan (kompetensi) dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya dengan maksimal sebagai seorang guru.

2.      Jenis-Jenis Kompetensi Guru
Kualitas kinerja guru dinyatakan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Dijelaskan bahwa “Standar kompetensi guru dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu kompetensi pedagogic, kepribadian, social dan professional.”[18]
Dalam buku Model-Model Pembelajaran, Rusman mengutip pernyataan Glasser yang mengatakan bahwa “ada empat hal yang harus dikuasai guru, yaitu menguasai bahan pelajaran, mampu mendiagnosis tingkah laku siswa, mampu melaksanakan proses pembelajaran dan mampu mengevaluasi hasi belajar siswa.”[19]
Berdasarkan penjelasan diatas, maka kemampuan pokok yang harus dimiliki oleh setiap guru yang akan dijadikan tolak ukur kualitas kinerja guru adalah :
a.      Kompetensi Pedagogik
Menurut Trianto bahwa kompetensi pedagogik yaitu “kemampuan seorang guru dan dosen dalam mengelola proses pembelajaran peserta didik.”[20]
Dalam Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen penjelasan pasal 10 ayat 1 menerangkan bahwa “yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik”.[21]
Sedangkan menurut Hoogveld, pedagogik adalah ilmu yang mempelajari masalah membimbing anak kearah tujuan tertentu, yaitu supaya kelak “mampu secara mandiri menyelesaikan tugas hidupnya”.[22]
Rusman menambahkan bahwa, “kompetensi pedagogik meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki peserta didik.”[23]
Berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum, seorang guru harus mampu mengembangkan kurikulum berdasarkan tingkat satuan pendidikannya masing-masing dan disesuaikan dengan kebutuhan lokal.
Disamping itu, guru harus mampu menerapkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam pembelajarannya, yaitu menggunakan berbagai media, metode dan sumber belajar yang relevan dan menarik perhatian siswa sehingga tujuan pembelajaran tercapai secara optimal.
Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan kompetensi pedagogik yang harus dimiliki seorang guru meliputi:
1)      Penguasaan terhadap karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, dan intelektual.
2)      Penguasaan terhadap teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
3)      Mampu mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu.
4)      Menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik.
5)      Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik.
6)      Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
7)      Berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun dengan peserta didik.
8)      Melakukan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar.

b.      Kompetensi Kepribadian
Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen penjelasan pasal 10 ayat 1 menerangkan bahwa “yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik”.[24]
Slameto berpendapat bahwa :
“Seorang guru yang berkepribadian baik harus ”mampu untuk menjaga tata tertib sekolah dan kedisiplinan dalam berbagai hal, antara lain kedisiplinan dalam hal mengajar, kedisiplinan administrasi dan kebersihan atau keteraturan kelas. Bukan hanya guru yang ikut melaksanakan kedisiplinan tetapi semua pihak yaitu siswa, pegawai atau karyawan, kepala sekolah dan tim BP”.[25]

Dari pengertian diatas, dapat diartikan guru memiliki sikap kepribadian yang mantap, sehingga mampu menjadi sumber inspirasi bagi siswa. Dengan kata lain, guru harus memiliki kepribadian yang patut diteladani, sehingga mampu melaksanakan tri-pusat yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantoro, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. (di depan guru memberi teladan/contoh, di tengah memberikan karsa dan dibelakang memberikan dorongan/motivasi).
Menurut Rusman, criteria kompetensi kepribadian seorang guru meliputi:
1)      Bertindak sesuai dengan norm agama, hukum, social dan kebudayaan nasional Indonesia.
2)      Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur,berakhlak mulia dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat.
3)      Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa.
4)      Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru dan rasa percaya diri.
5)      Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.[26]

Apabila kelima kriteria tersebut diatas telah dilaksanakan oleh seorang guru, maka sudah dapat dikatakan bahwa guru tersebut telah memiliki kompetensi kepribadian yang baik. Semua itu akan berhasil apabila guru juga disiplin dalam melaksanakan tugas dan kewajibannnya.


c.       Kompetensi Sosial
Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen penjelasan pasal 10 ayat 1 menerangkan bahwa
“Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar”.[27]

Kompetensi sosial ini berhubungan dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial,  yang meliputi :
1)      Kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan professional.
2)      Kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap lembaga kemasyarakatan.
3)      Kemampuan untuk menjalin kerja sama, baik secara individual maupun secara kelompok.[28]

Artinya, seorang guru haruslah dapat menunjukkan kemampuan berkomunikasi sosial, baik dengan murid-muridnya maupun dengan sesama teman guru, dengan kepala sekolah bahkan masyarakat luas.
Guru dimata masyarakat dan siswa merupakan panutan yang perlu dicontoh. Guru perlu memiliki kemampuan sosial dengan masyarakat, dalam rangka pelaksanaan proses pembelajaran yang efektif.  Dikatakan demikian karena dengan memiliki kemampuan tersebut, otomatis hubungan sekolah dengan masyarakat akan berjalan dengan lancar, sehingga jika ada keperluan dengan orang tua siswa, para guru tidak akan mendapatkan kesulitan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kriteria kompetensi sosial itu meliputi:
1)      Bertindak objektif serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga dan status sosial ekonomi.
2)      Berkomunikasi secara efektif, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua dan masyarakat.
3)      Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah.
4)      Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.

d.      Kompetensi Profesional
Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen penjelasan pasal 10 ayat 1 menerangkan bahwa
“Yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.”.[29]

Kompetensi profesional adalah “kompetensi atau kemampuan yang berhubungan dengan penyelesaian tugas-tugas keguruan.”[30]
Menurut Rusman, kompetensi profesional yaitu kemampuan yang harus dimiliki guru berkenaan dengan aspek :
1)      Dalam menyampaikan pembelajaran, guru mempunyai peranan dan tugas sebagai sumber materi yang tidak pernah kering dalam mengelola proses pembelajaran.
2)      Dalam melaksanakan proses pembelajaran, keaktifan siswa harus selalu diciptakan dan berjalan terus dengan menggunakan metode dan strategi mengajar yang tepat.
3)      Di dalam pelaksanaan proses pembelajaran, guru harus memerhatikan prinsip-prinsip didaktik metodik sebagai ilmu keguruan.
4)      Dalam hal evaluasi, secara teori dan praktik guru harus melaksanakan sesuai dengan tujuan yang ingin diukurnya.[31]

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa seorang guru harus memiliki pengetahuan yang luas berkenaan dengan bidang studi yang akan diajarkan serta penguasaan diktatik metodik dalam arti memiliki pengetahuan konsep teoretis, mampu memilih model, strategi dan metode yang tepat serta mampu menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran. Guru pun harus memiliki pengetahuan luas tentang kurikulum dan landasan kependidikan.
Dari keempat kompetensi yang telah dijabarkan diatas, maka setiap seorang pendidik haruslah memiliki keseluruhan kompetensi tersebut. Apabila salah satu atau lebih dari kompetensi tersebut belum dimiliki oleh seorang pendidik, maka pendidik tersebut belum layak disebut sebagai tenaga pengajar.
C.    Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Assisted Individualiszation (TAI)
  1. Pengertian Kooperatif
Basyiruddin Usman mendefinisikan cooperative sebagaibelajar kelompok atau bekerjasama”.[32] Menurut Marasuddin mengatakan bahwadalam proses belajar mengajar perlu diciptakan metode kelompok untuk mewujudkan rasa kerjasama yang kuat atau rasa solidaritas”.[33]
Artur T Jersild yang dikutip Syaiful Sagala mendefinisikanLearning adalah Modification of behavior sthrough experience and training, yakni pembentuan prilaku melalui pengalaman dan latihan”.[34]
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah usaha mengubah perilaku untuk mendapatkan keterampilan dan pengetahuan secara gotong royong. Model pembelajaran ini menganut prinsip saling ketergantungan positif (positive interdependence), tanggungjawab perseorangan (individual accountability), tatap muka (face to face Interaction), ketrampilan sosial (social skill) dan proses kelompok (group processing).
Sagala menambahkan bahwa “inti dari pembelajaran kooperatif ini adalah konsep sinergi, yakni energi atau tenaga yang terhimpun melalui kerjasama sebagai salah satu fenomena kehidupan masyarakat”.[35]
Jadi pembelajaran kooperatif dirancang untuk memanfaatkan fenomena kerjasama atau gotong royong dalam pembelajaran yang menekankan terbentuknya hubungan antara siswa yang satu dengan yang lainnya, terbentuknya sikap dan perilaku yang demokratis serta tumbuhnya produktivitas kegiatan belajar siswa.
Menurut pengertian di atas bahwa dengan cooperative learning siswa akan dapat mewujudkan hasil yang lebih baik dari pada belajar secara individual. Dengan adanya kerjasama akan memberi dan menerima serta saling melengkapi

  1. Dasar-Dasar Pembelajaran Kooperatif
Dalam pelaksanaan azas kooperatif mempunyai dasar-dasar, yaitu dasar yuridis dan dasar psikologis. Azas kooperatif mempunyai pendekatan secara kelompok.
Belajar bertujuan mendapatkan pengetahuan, sikap kecakapan dan keterampilan untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan suatu metode atau cara. Dalam proses belajar mengajar metode belajar kelompok merupakan sebagai salah satu metode yang menggunakan pendekatan kelompok. Pendekatan  kelompok  digunakan  untuk membina  dan  mengembangkan sikap  sosial  anak  didik.  
Adapun dasar dari belajar kelompok dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
a.      Dasar Yuridis
Dasar yuridis sebagai dasar yang berkaitan dengan masalah pendidikan dan pengajaran. Hal tersebut tercermin dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 1 berbunyi bahwa jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan   pada kekhususan tujuan pendidikan suatu tujuan.
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 yang berbunyi :
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa betujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[36]

Begitu juga terdapat dalam PP No 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan Bab IV pasal 19 berbunyi :
“proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologi peserta didik.”[37]

b.      Dasar Psikologis
Dasar psikologis akan terlihat pada diri manusia tercermin pada kehidupan sehari-hari. Kegiatan tersebut dapat digolongkan ke dalam tiga golongan utama secara hakiki yaitu :
1)      Kegiatan yang bersifat individual
2)      Kegiatan yang bersifat sosial, serta
3)      Kegiatan yang bersifat ketuhanan[38]
Dasar psikologis tersebut akan terlihat pada diri manusia dalam kehidupan sehari-hari. Manusia mempunyai kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain. Kebutuhan ini akan terlihat ketika kita ada pada situasi sendiri sepanjang hari atau ketika kita menjadi orang baru dalam sebuah komunitas atau grup.
Perasaan sendiri sebenarnya adalah jenis kecemasan. Kecemasan dalam kesendirian ini menunjukkan betapa pentingnya orang lain bagi eksistensi kita sebagai individu. Tanpa ada orang lain kita merasa cemas dan merasa tidak bermakna.

c.       Dasar Religius
Selain dua dasar di atas, azas kooperatif juga memiliki azas agama yang termaktub dalam Q.S Al Maidah ayat 2 yang berbunyi :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#q=ÏtéB uŽÈµ¯»yèx© «!$# Ÿwur tök¤9$# tP#tptø:$# Ÿwur yôolù;$# Ÿwur yÍ´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |MøŠt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6tƒ WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§ $ZRºuqôÊÍur 4 #sŒÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù 4 Ÿwur öNä3¨ZtB̍øgs ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r|¹ Ç`tã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#rßtG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ  

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”[39]

Dari ayat di atas maka dapat diketahui bahwa prinsip kerjasama dan saling membantu dalam kebaikan juga sangat dianjurkan oleh agama Islam.

  1. Unsur-Unsur Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif memiliki unsur-unsur yang saling terkait, yakni:
a.       Saling ketergantungan positif (positive interdependence).[40]
Ketergantungan positif ini bukan berarti siswa bergantung secara menyeluruh kepada siswa lain. Jika siswa mengandalkan teman lain tanpa dirinya memberi apapun menjadi tempat bergantung bagi sesamanya, hal itu tidak bisa dinamakan ketergantungan positif.
Guru harus menciptakan suasana yang mendorong agar siswa merasa saling membutuhkan. Perasaan saling membutuhkan inilah yang dinamakan positif interdependence. Saling ketergantungan tersebut dapat tercapai melalui ketergantungan tujuan, tugas, bahan atau sumber belajar, peran dan hadiah.
b.      Tanggung jawab perseorangan (individual accountability)
Pembelajaran kooperatif menuntut adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan bahan belajar tiap anggota kelompok, dan diberi balikan tentang hasil belajar anggota-anggotanya sehingga mereka saling mengetahui rekan yang memerlukan bantuan.
Berbeda dengan kelompok tradisional, akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering dikerjakan oleh sebagian anggota. “Dalam cooperative learning, siswa harus bertanggungjawab terhadap tugas yang diemban masing-masing anggota”.[41]
c.       Tatap muka (face to face interaction)
Interaksi kooperatif menuntut semua anggota dalam kelompok belajar dapat saling tatap muka sehingga mereka berdialog tidak hanya dengan guru tapi juga bersama dengan teman. Interaksi semacam itu memungkinkan anak-anak menjadi sumber belajar bagi sesamanya. Hal ini diperlukan karena siswa sering merasa lebih mudah belajar dari sesamanya dari pada dari guru.
d.      Komunikasi antar anggota
“Pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk dapat mampu berpartisipasi dan berkomunikasi”.[42] Kemampuan ini sangat penting sebagai bekal mereka dalam kehidupan di masyarakat kelak. Oleh karena itu sebelum melakukan pembelajaran, guru perlu membekali siswa dengan kemampuan berkomunikasi, misalnya kemampuan mendengarkan dan kemampuan berbicara, padahal keberhasilan kelompok ditentukan oleh partisipasi setiap anggotanya.
e.       Evaluasi proses kelompok
Pengajaran perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerjasama mereka agar selanjutnya bisa bekerjasama dengan lebih efektif. “Waktu evaluasi tidak harus diadakan setiap ada kerja kelompok, tetapi bisa diadakan selang beberapa waktu setelah beberapa kali peserta didik terlibat dalam kegiatan pembelajaran kooperatif.”[43]

Unsur-unsur cooperative learning dalam pembelajaran akan mendorong terciptanya masyarakat belajar (learning community). Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dengan orang lain berupa sharing individu, antar kelompok dan antar yang tahu dan belum tahu. 

  1. TAI Sebagai Salah Satu Tipe Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif tipe TAI ini dikembangkan oleh Slavin. TAI adalahmodel pembelajaran individual dibantu kelompok atau tim. Dalam penggunaan tim belajar yang terdiri dari 4-5 anggota kelompok yang berkemampuan bervariasi. TAI menggabungkan pembelajaran kooperatif dengan pembelajaran individual”.[44]
Tipe ini mengkombinasikan keunggulan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran individual. Tipe ini dirancang untuk mengatasi kesulitan belajar siswa secara individual. Oleh karena itu kegiatan pembelajarannya lebih banyak digunakan untuk memecahkan masalah, ciri khas tipe TAI ini adalah setiap siswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah disiapkan oleh guru. Belajar individual dibawa ke kelompok- kelompok untuk didiskusikan dan saling dibahas oleh anggota kelompok, dan semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama.
Slavin membuat model ini dengan beberapa alasan, yaitu:
a)      Pertama, model ini mengkombinasikan keunggulan kooperatif dan program pengajaran individual.
b)      Kedua, model ini memberikan tekanan pada efek sosial  dari  belajar  kooperatif. 
c)      Ketiga, TAI disusun untuk memecahkan masalah dalam program pengajaran,misalnya dalam hal kesulitan belajar.[45]

Model pembelajaran TAI memiliki delapan komponen. Kedelapan komponen tersebut adalah sebagai berikut:
a)      Teams,  yaitu  pembentukan  kelompok  heterogen  yag  terdiri  atas  4 sampai 6 siswa.
b)      Placement test, yakni pemberian pre-test kepada siswa atau melihat rata-rata nilai harian agar guru mengetahui kelemahan siswa dalam bidang tertentu.
c)      Student creative, melaksanakan tugas dalam suatu kelompok dengan menciptakan situasi dimana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya.
d)     Team study, yaitu tahapan tindakan belajar yang harus dilaksanakan oleh kelompok dan guru memberikan bantuan secara individual kepada siswa yang membutuhkannya.
e)      Team  scores  and  team  recognition,  yaitu  pemberian  skor  terhadap hasil kerja kelompok dan memberikan kriteria penghargaan terhadap kelompok yeng berhasil secara cemerlang dan kelompok yang dipandang kurang berhasil dalam menyelesaikan tugas.
f)       Teaching group, yakni pemberian materi secara singkat dari guru menjelang pemberian tugas kelompok.
g)      Facts test, yaitu pelaksanaan tes-tes kecil berdasarkan fakta yang diperoleh siswa.
h)      Whole class units, yaitu pemberian materi oleh guru kembali di akhir waktu pembelajaran dengan strategi pemecahan masalah[46]

Jadi, dari kedelapan komponen yang terdapat dalam model pembelajaran TAI diatas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran TAI merupakan model pembelajaran yang menekankan kepada pembelajaran secara kooperatif (bekerja sama) dimana keberhasilan setiap siswa ditentukan oleh keberhasilan kelompoknya. Apabila salah satu anggota kelompok belum mencapai ketuntasan maka siswa yang berada dalam satu kelompok tersebut juga dinyatakan belum tuntas.

  1. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI
Pembelajaran kooperatif tipe TAI (Teams Assisted Individualization) lebih menekankan pengajaran individual meskipun tetap   menggunakan pola kooperatif. Salah satu ciri pembelajaran kooperatif  adalah kemampuan untuk bekerja dalam suatu kelompok. Pada saat  diskusi siswa saling mempertanggung jawabkan yang dikerjakan teman setimnya.
Dengan mengadopsi model pembelajaran TAI dalam proses belajar mengajar dapat menggunakan langkah-langkah pembelajaran ssebagai berikut:
a)      Guru menentukan suatu pokok bahasan yang akan disajikan kepada siswanya dengan mengadopsi pembelajaran TAI.
b)      Guru menjelaskan kepada seluruh siswa tentang akan diterapkannya model pembelajaran TAI, sebagai suatu variasi model pembelajaran.
c)      Guru menjelaskan kepada siswa tentang pola kerja antar siswa dalam suatu kelompok.
d)     Guru menyiapkan materi ajar yang harus dikerjakan kelompok.
e)      Guru  menjelaskan  materi  secara  singkat  (mengadopsi  komponen teaching group).
f)       Guru  membentuk  beberapa  kelompok,  setiap  kelompok  terdiri  4 sampai  5  siswa  dengan  kemampuan/kepandaiannya  yang  berbeda- beda. Jadi kemungkinan anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda (mengadopsi komponen teams).
g)      Guru  menugasi  kelompok  dengan  materi  yang  sudah  disiapkan (mengadopsi komponen student creative)
h)      Ketua kelompok, melaporkan keberhasilan atau melapor kepada guru tentang hambatan yang dialami oleh anggota kelompoknya. Jika diperlukan, guru dapat memberikan secara individual (mengadopsi komponen team study)
i)        Apabila dalam suatu kelompok sudah memahami materi bahan ajar yang diberikan oleh guru, ketua kelompok melapor kepada guru bahwa kelompoknya siap untuk diberi ulangan oleh guru (mengadopsi komponen team score and team recognition). Setelah ulangan dilakukan, guru mengumumkan hasilnya dan menetapkan kelompok terbaik sampai  kelompok kurang berhasil.
j)        Pada saat dilakukan tes, tindakan ini mengadopsi komponen facts tests.
k)      Menjelang akhir waktu, guru memberikan latihan pendalaman secara klasikal dengan menekankan strategi pemecahan masalah (mengadopsi komponen whole class units).
l)        Guru memberikan tes formatif, sesuai dengan komponen kompetensi yang ditentukan.[47]

Jadi model pembelajaran kooperatif tipe TAI merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa dengan kemampuan individulnya masing-masing bekerjasama di dalam kelompok-kelompok kecil dengan kemampuan  berbeda. Dimana terdapat seorang siswa yang lebih mampu bertugas  membantu  secara  individual  siswa  lain  yang  kurang  mampu dalam satu kelompok.

  1. Keunggulan dan Kelemahan Metode Pembelajaran TAI
Dalam setiap metode pembelajaran, sudah pasti memiliki keunggulan dan kelemahan apabila dibandingkan dengan metode-metode pembelajaran lainnya.
Adapun keunggulan metode pembelajaran TAI menurut pendapat Hamdani adalah :
a)      Siswa yang lemah dapat terbantu dalam menyelesaikan masalah.
b)      Siswa yang pandai dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilannya.
c)      Adanya tanggung jawab dalam kelompok dalam menyelesaikan permasalahannya.
d)     Siswa diajarkan bagaimana bekerjasama dalam suatu kelompok.[48]

Menurut Slavin, metode Team Assisted Individualization (TAI) dirancang untuk menyelesaikan masalah-masalah teoritis dan praktis dari sistem pengajaran individual, sehingga memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode lainnya, yaitu:
a)      Dapat meminimalisasi keterlibatan guru dalam pemeriksaan dan pengelolaan rutin.
b)      Guru setidaknya akan menghabiskan separuh waktunya untuk mengajar kelompok-kelompok kecil.
c)      Operasional program tersebut akan sedemikian sederhana sehingga para siswa di kelas dapat melakukannya.
d)     Para siswa akan termotivasi untuk mempelajari materi-materi yang diberikan dengan cepat dan akurat, tidak bisa berbuat curang atau menemukan jalan pintas.
e)      Para siswa akan melakukan pengecekan satu sama lain, sekalipun bila siswa  yang mengecek kemampuannya ada di bawah siswa  yang dicek dalam rangkaian pengajaran, dan prosedur akan cukup sederhana dan tidak menunggu si pengecek.
f)       Program  mudah  dipelajari  baik  oleh  guru  maupun  siswa,  tidak mahal, fleksibel dan tidak membutuhkan guru tambahan ataupun tim guru.
g)      Dengan membuat para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kooperatif, dengan status yang sejajar, program ini akan membangun kondisi untuk terbentuknya sikap-sikap positif terhadap siswa-siswa mainstream yang cacat secara akademik dan di antara para siswa dari latar belakang ras dan etnik berbeda. [49]

Lebih lanjut Hamdani, menyebutkan kelemahan dari metode pembelajaran TAI adalah :
a)      Tidak ada persaiangan antar kelompok
b)      Siswa yang lemah dimungkinkan menggantungkan pada siswa yang pandai.[50]

D.    Mata Pelajaran Fiqih
  1. Pengertian Fiqih
Fiqih dapat diartikan sebagai salah satu bidang ilmu dalam Syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Beberapa ulama fiqih seperti Imam Abu Hanafiah mendefinisikan fiqih sebagai “pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah”.[51]
Setidaknya ada beberapa hal yang ingin dicapai dalam pembelajaran fiqih, antara lain:
a)      Mendorong tumbuhnya kesadaran beribadah pada peserta didik kepada Allah SWT.
b)      Menanamkan kebiasaan melaksanakan hukum Islam di kalangan peserta didik kepada Allah SWT.
c)      Mendorong timbulnya kesadaran siswa untuk mensyukuri nikmat Allah.
d)     Membentuk kebiasaan disiplin dan rasa tanggung jawab sosial di lingkungan sekolah dan masyarakat.
e)      Membentuk kebiasaan perilaku yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di madrasah dan masyarakat.
f)       Fungsi keilmuan, membekali peserta didik pengetahuan, agar dapat digunakan dalam kehidupan.[52]

Berbagai pengertian diatas, pembelajaran fiqih dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku yang diperoleh dari pendalaman ilmu hukum Islam melalui dalil di Al Qur’an dan Sunnah.

  1. Kurban
a.      Pengertian Kurban
Kurban dalam ilmu fiqih berarti menyembelih hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT pada idul adha atau hari tasyrik yaitu tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijah.[53]
Ibadah kurban disyariatkan kepada umat Islam pada tahun kedua hijriah bersamaan dengan disyariatkan zakat, shalat Idul Fitri dan Idul Adha.

b.      Dasar Hukum Kurban
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum kurban adalah wajib. Rasulullah bersabda:
عَنْ اَبِىْ هُرَيْرَةَ:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَعِّ فَلاَ يُقَرِّبَنَّ مُصَلاَّ نَا
Artinya : Dari Abu Hurairah telah bersabda Rasulullah SAW : Siapa saja yang mempunyai kemampuan tetapi tidak berkurban maka janganlah ia mendekati tempat shalatku[54].

Sedangkan perintah untuk melaksanakan kurban dapat kita temukan dalam Q.S Al Kausar ayat 2. Allah berfirman :
Èe@|Ásù y7În/tÏ9 öptùU$#ur ÇËÈ  
Artinya: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah”[55]
c.       Jenis dan Syarat Hewan Kurban
Hewan yang dapat dijadikan sebagai hewan kurban adalah hewan yang tidak cacat seperti pincang, buta, terpotong telinga dan telah memenuhi syarat.
Binatang yang diperbolehkan untuk dijadikan kurban antara lain kambing, sapi, kerbau dan unta yang telah memenuhi syarat untuk dijadikan kurban. Syarat-syarat bagi binatang tersebut sebagai berikut:
1)      Domba (gibas) telah berumur satu tahun atau telah berganti giginya (musinnah).
2)      Kambing telah berumur dua tahun lebih.
3)      Sapi atau kerbau, telah berumur dua tahun lebih.
4)      Unta, telah berumur lima tahun lebih.[56]

Satu ekor kambing atau domba untuk satu orang yang akan berkurban. Untuk sapi dan kerbau untuk tujuh orang, sedangkan unta dapat digunakan untuk tujuh sampai sepuluh orang yang akan berkurban.

d.      Hikmah Kurban
Dalam ajaran Islam, setiap perbuatan yang dianjurkan pasti memilki manfaat dan kegunaan. Demikian juga ibadah kurban, terdapat beberapa hikmah atau fungsi antara lain :
1)      Menjadi bukti ketaatan seseorang kepada Allah.
2)      Sebagai tanda syukur atas rezki yang telah diterima dari Allah.
3)      Mencegah sikap tamak dan rakus.
4)      Menunjukkan rasa belas kasih kepada sesama.
5)      Menjembatani kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin.
6)      Melatih semangat berkurban untuk kepentingan orang lain dalam kehidupan sehari-hari.[57]


[1] Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008, hal. 513
[2] Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Kesulitan Belajar, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, hal. 37
[3] Soedjono, Pendidikan Ilmu Pendidikan Umum, Bandung: Ilmu, tt, hal. 77
[4] Nana Sudjana, Penilaian HasilProses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005, hal. 22
[5] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001, hal. 113
[6] Dimyati dan Mujiono, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Asdi Mahasatya, 2002, hal. 46
[7] Muhibbin Syah, Op.Cit, Hlm. 114
[8] Ibid, Hlm. 114
[9] Ibid, Hlm. 114
[10] Ibid, hal. 8
[11] E.Mulyasa, Implementasi Kurikulum 2004; Panduan Pembelajaran KBK, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, hal. 190
[12] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 155
[13] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010, hal. 233
[14] E. Mulyasa, Op.Cit., hal. 192
[15] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, hal. 145
[16] M.Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001. hal. 14
[17] Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005. hal. 12
[18] Rusman, Model-Model Pembelajaran, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012, hal.53
[19] Ibid., hal. 53
[20] Trianto, dkk. Tinjauan Yuridis Hak Serta Kewajiban Pendidik Menurut UU Guru dan Dosen. Jakarta: Prestasi Pustaka. 2006. hal. 33
[21] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Visimedia, Jakarta, Cet. ke-2, 2008, hal. 42
[22] Uyoh Sadulloh, Pedagogik (Ilmu Mendidik), Bandung: Alfabeta, Cet. ke-2, 2011, hal. 2
[23] Rusman, Op.Cit., hal. 54
[24] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Visimedia, Jakarta, Cet. ke-2, 2008, hal. 42
[25] Slameto, Op. Cit., hal. 67
[26] Rusman, Op.Cit., hal. 55
[27] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Visimedia, Jakarta, Cet. ke-2, 2008, hal. 42
[28] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2009, cet.ke-6, hal.19
[29] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Visimedia, Jakarta, Cet. ke-2, 2008, hal. 42
[30] Wina Sanjaya, Op.Cit., hal. 18
[31] Rusman, Op.Cit., hal. 57-58
[32] Basyiruddin Usman, Metode Pembelajaran Agama Islam, Jakarta: Ciputat press, 2002, hal 14
[33] Marasuddin Siregar, Diktat Metodologi Pengajaran Agama, Semarang: Fakultas Tarbiyah Walisongo, 2003, hal. 29-30
[34] Saiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung: Alfa Beta, 2003, hal. 12
[35] Ibid., hal. 177
[36] Direktorat Jendral Pendidikan Islam RI, Undang-Undang Pemerintah RI tentang Pendidikan Tahun 2006, Departemen Agama RI: 2006, hal. 6
[37] Ibid., hal. 115
[38] Bimo Walgito, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Bandung: Andhi Offset: 1995, hal. 104
[39] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2013, hal. 106
[40]Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktekkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas, Jakarta: Gramedia, 2005, hal. 32
[41] Mulyana Abdurrahman, Op.Cit., hal. 122
[42] Wina Sanjaya, Op.Cit., hal. 147
[43] Anita Lie, Op.Cit., hal. 35
[44] Robert E. Slavin, Cooperative Learning (Teori, Riset dan Praktik), Bandung: Nusa Media, 2005, hal. 195
[45] Rachmad Widdiharto, Model-Model Pembelajaran Matematika SMP, Yogyakarta: PPG Matematika, 2006, hal. 19
[46] Anita Lie, Op.Cit., hal. 34-36
[47] Miftahul Huda, Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014, cet.ke-5, hal. 224
[48] Hamdani, Strategi Belajar Mengajar, Bandung: Pustaka Setia, 2011, hal 256
[49] Robert E. Slavin, Op.Cit., hal. 190-195
[50] Ibid., hal. 256
[51] Wikipedia. Fiqih. Id.m.wikipedia.org/wiki. (21 November), (26 Desember 2014).
[52] Dirjen Lembaga Departemen Agama RI, Kurikulum dan Hasil Belajar Fiqih, Edisi Juni, 2003, hal. 3
[53] Tim Penyusun Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Fiqih Kelas V, Klaten: Cempaka Putih, 2007, hal. 55
[54] Ibid., hal. 56
[55] Departemen Agama RI, Op.Cit., hal. 528
[56] Tim Penyusun Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Op.Cit., hal. 57
[57] Ibid., hal. 59

Belum ada Komentar untuk "PTK [BAB II] Meningkatkan Hasil Belajar Siswa dengan Menggunakan Metode Pembelajaran Team Assisted Individualiszation (TAI) pada Mata Pelajaran Fiqih "

Posting Komentar

Mohon tidak mengirimkan SPAM ke Blog ini !
Saling Berbagi Sobat

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

loading...