Hubungan Puasa dengan Ruh Manusia
Selasa, 12 Desember 2017
Tambah Komentar
Puasa adalah amal ibadah yang kerap kita jumpai. Paling tidak dalam
setahun kita berjumpa dengan puasa di bulan Ramadhan. Di luar itu, amalan puasa
sunnah dapat kita jumpai hamper di setiap hari, misalnya puasa sunnah Nabi Daud
atau puasa Senin-Kamis. Perintah dan anjuran ibadah puasa kerap menemui kita
tetapi terkadang kita selalu lalai untuk merenungkan dan melaksanakannya.
Puasa itu serupa kebenaran yang terkadang tertutup kabut hingga kita
harus terus mencari maknanya. Tak jarang kita berpuasa karena orang tua kita
mengajarkannya saat kita masih kecil, atau karena teman-teman kita berpuasa.
Tak jarang pula kita berpuasa agar tidak malu dengan teman kantor atau teman
sekolah atau alasan-alasan lain yang serupa itu tanpa kita mau meluangkan waktu
sejenak saja untuk merenungi, “mengapa kita harus berpuasa pada tiap-tiap tahun
yang kita lalui”?
Sudah pasti setiap ajaran agama memiliki unsur ruhaniah. Tanpa unsur
tersebut maka dapat dipastikan kehidupan beragama seseorang atau satu
masyarakat termasuk juga kebudayaan dan peradabannya menjadi tidaklah seimbang.
Unsur ruhaniah yang terpenting dalam setiap ajaran agama adalah pengendalian
diri atas hal yang bersifat duniawi dan jasmani (nafsu) yang menjadi jalan bagi
jiwa manusia kea rah kehidupan spiritual yang utuh. Pengendalian inilah yang
terdapat dalam ajaran puasa.
Ibadah puasa tentu saja memiliki berbagai manfaat sosial, individu, dan
manfaat lainnya yang sudah sering kita dengan di berbagai ceramah dan
pembahasan mengenai ibadah puasa. Tetapi terkadang kita hanya memandang puasa
sebagai sarana berempati bagi yang miskin dan lapar seraya menumbuhkan sikap
kedermawanan. Yang kerap luput dari ibadah puasa adalah esensi kehambaan yang
terlepas dari segala macam analogi dan rasionalisasi. Puasa adalah sebentuk
ketaatan kepada perintah Allah SWT, sedangkan sikap empati dan pengendalian
diri adalah buah yang dapat kita petik dari rasa lapar dan haus.
Selain menahan lapar dan haus, terdapat satu hal yang paling sulit
dalam menjalankan ibadah puasa yaitu mengendalikan nafsu amarah (an-nafs
al-amarah). Ketika berpuasa, kecenderung untuk memberontak atas perintah Allah
SWT kerap muncul. Puasa adalah rule, dan setiap rule sangat menarik untuk
dilanggar. Itulah sebabnya puasa tidak hanya berkaitan dengan makanan, tapi juga
suatu pengendalian yang tak hanya bersifat personal tapi juga ”kegagahan”
melanggar aturan.
Dalam berpuasa manusia diingatkan bahwa dia telah memilih Tuhan
dibandingkan apa pun. Itulah sebabnya Rasullulah SAW sangat menyulai ibadah
puasa, “al faqr fakhri” (fakir adalah kebanggaanku). Ibadah puasa merupakan
unsur dasar al-faqr (perasaan hina dina di hadapan Allah SWT).
Unsur ruhaniah adalah bagian terpenting dalam ibadah puasa. Dengan
berpuasa, manusia membatasi jasad sekaligus membebaskan ruh-nya untuk meraih
ketinggian. Manusia tersusun dari benda (madi) dan yang bukan benda (maknawi)
yakni ruh. Dua hal ini kemudian menyatu dalam satu waktu.
Sebagai benda material, tubuh tidaklah abadi. Tubuh akan hancur seiring
berjalannya waktu. Tubuh menerima yang kurang dan yang lebih, karena itu ada
tubuh yang besar dan ada tubuh yang kurus, tubuh berkulit kencang dan tubuh
berkulit keriput. Sedangkan ruh bersifat halus dan cenderung tetap (mabni). Ruh
senantiasa hidup dan merespon hal-hal yang hakiki.
Ruh dapat saja tinggi dan rendah. Yang tinggi mengenal Tuhannya dengan
baik dan mewujudkan pengenalan itu dalam perbuatan mulia, sementara yang rendah
mengabaikan Tuhan hingga membiarkan tubuh melakukan hal-hal terlarang. Ruh akan
melewati fase-fase hari akhir dari alam barzakh hingga saat “bertemu” Allah SWT
kelak di hari perhitungan.
Puasa memang membuat tubuh terkekang dari waktu imsak hingga datangnya
adzan maghrib, tapi disaat bersamaan ruh seorang yang berpuasa akan merasa
tenang. Itulah yang menjadi rahasia keseimbangan ajaran Islam. Islam tidak
mengajarkan umatnya mementingkan tubuh semata, tapi tidak pula mementingkan
rohani saja. Saat tubuh menahan diri dari kebutuhannya, di saat yang sama pula
ruh mendapatkan asupannya. Ruh menjadi tenang, nafsu dan ambisinya dapat
diredam sehingga dapat lebih merasakan kehadiran Tuhan. Ketika kita berbuka,
tubuh sebagai benda akan kembali mendapatkan jatahnya berupa makanan untuk
mempertahankan dirinya dan mendapat hak untuk kesehatannya.
Puasa dalah ibadah khusus yang bertujuan agar ruh menjadi suci hingga
dapat terhubung dengan “kesucian” Allah SWT. Puasa adalah manifestasi kesaksian
manusia kepada Allah SWT. Seseorang dapat meminum seteguk air lalu pura-pura
mengeringkan mulutnya supaya dipandang orang ia berpuasa, atau ia dapat saja
makan lalu menyeka habis bekas-bekasnya di mulut agar tidak terlihat. Tapi
sesungguhnya jiwanya tahu bahwa ia telah melanggar, jiwa tidak dapat
berpura-pura puasa. Jiwa tahu jika Allah SWT senantiasa hadir dan menyaksikan.
Rasullulah SAW di dalam sebuah hadits Qudsi mengatakan bahwa berpuasa
adalah untuk Allah dan Allah akan langsung mengganjarnya dengan pahala. Sebuah
hadits riwayat Imam Bukhori menyebut bahwa puasa dalah benteng. Kita dilarang
mengucapkan kata-kata kotor, takabur, arogan, dan congkak. Setiap ada yang
mengejek atau berkata buruk kepada kita, Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk
menjawabnya dengan kata-kata, “sesungguhnya saya puasa. Sesungguhnya saya
puasa”.
Puasa adalah benteng bagi ruh dan hati. Dengan benteng tersebut, ruh
tidak akan merespon keburukan dengan keburukan pula. Puasa adalah cara untuk
mensucikan batin. Allah SWT telah mengamanatkan puasa, dan setiap manusia wajib
untuk menjaga amanat itu. Maka siapa saja yang menyelesaikan ibadah puasa, baik
di bulan Ramadhan atau puasa sunnah di hari biasa, berarti ia telah memenangkan
dirinya, kesucian kemanusiaanya, serta menjadikan dirinya dekat dengan Allah
SWT. Puasa adalah berkah bagi ruh, aspek yang hakiki bagi kemanusiaan kita.
Belum ada Komentar untuk "Hubungan Puasa dengan Ruh Manusia"
Posting Komentar
Mohon tidak mengirimkan SPAM ke Blog ini !
Saling Berbagi Sobat