Hubungan Puasa dengan Ruh Manusia

Puasa adalah amal ibadah yang kerap kita jumpai. Paling tidak dalam setahun kita berjumpa dengan puasa di bulan Ramadhan. Di luar itu, amalan puasa sunnah dapat kita jumpai hamper di setiap hari, misalnya puasa sunnah Nabi Daud atau puasa Senin-Kamis. Perintah dan anjuran ibadah puasa kerap menemui kita tetapi terkadang kita selalu lalai untuk merenungkan dan melaksanakannya.

Puasa itu serupa kebenaran yang terkadang tertutup kabut hingga kita harus terus mencari maknanya. Tak jarang kita berpuasa karena orang tua kita mengajarkannya saat kita masih kecil, atau karena teman-teman kita berpuasa. Tak jarang pula kita berpuasa agar tidak malu dengan teman kantor atau teman sekolah atau alasan-alasan lain yang serupa itu tanpa kita mau meluangkan waktu sejenak saja untuk merenungi, “mengapa kita harus berpuasa pada tiap-tiap tahun yang kita lalui”?


Sudah pasti setiap ajaran agama memiliki unsur ruhaniah. Tanpa unsur tersebut maka dapat dipastikan kehidupan beragama seseorang atau satu masyarakat termasuk juga kebudayaan dan peradabannya menjadi tidaklah seimbang. Unsur ruhaniah yang terpenting dalam setiap ajaran agama adalah pengendalian diri atas hal yang bersifat duniawi dan jasmani (nafsu) yang menjadi jalan bagi jiwa manusia kea rah kehidupan spiritual yang utuh. Pengendalian inilah yang terdapat dalam ajaran puasa.

Ibadah puasa tentu saja memiliki berbagai manfaat sosial, individu, dan manfaat lainnya yang sudah sering kita dengan di berbagai ceramah dan pembahasan mengenai ibadah puasa. Tetapi terkadang kita hanya memandang puasa sebagai sarana berempati bagi yang miskin dan lapar seraya menumbuhkan sikap kedermawanan. Yang kerap luput dari ibadah puasa adalah esensi kehambaan yang terlepas dari segala macam analogi dan rasionalisasi. Puasa adalah sebentuk ketaatan kepada perintah Allah SWT, sedangkan sikap empati dan pengendalian diri adalah buah yang dapat kita petik dari rasa lapar dan haus.

Selain menahan lapar dan haus, terdapat satu hal yang paling sulit dalam menjalankan ibadah puasa yaitu mengendalikan nafsu amarah (an-nafs al-amarah). Ketika berpuasa, kecenderung untuk memberontak atas perintah Allah SWT kerap muncul. Puasa adalah rule, dan setiap rule sangat menarik untuk dilanggar. Itulah sebabnya puasa tidak hanya berkaitan dengan makanan, tapi juga suatu pengendalian yang tak hanya bersifat personal tapi juga ”kegagahan” melanggar aturan.

Dalam berpuasa manusia diingatkan bahwa dia telah memilih Tuhan dibandingkan apa pun. Itulah sebabnya Rasullulah SAW sangat menyulai ibadah puasa, “al faqr fakhri” (fakir adalah kebanggaanku). Ibadah puasa merupakan unsur dasar al-faqr (perasaan hina dina di hadapan Allah SWT).

Unsur ruhaniah adalah bagian terpenting dalam ibadah puasa. Dengan berpuasa, manusia membatasi jasad sekaligus membebaskan ruh-nya untuk meraih ketinggian. Manusia tersusun dari benda (madi) dan yang bukan benda (maknawi) yakni ruh. Dua hal ini kemudian menyatu dalam satu waktu.
Sebagai benda material, tubuh tidaklah abadi. Tubuh akan hancur seiring berjalannya waktu. Tubuh menerima yang kurang dan yang lebih, karena itu ada tubuh yang besar dan ada tubuh yang kurus, tubuh berkulit kencang dan tubuh berkulit keriput. Sedangkan ruh bersifat halus dan cenderung tetap (mabni). Ruh senantiasa hidup dan merespon hal-hal yang hakiki.

Ruh dapat saja tinggi dan rendah. Yang tinggi mengenal Tuhannya dengan baik dan mewujudkan pengenalan itu dalam perbuatan mulia, sementara yang rendah mengabaikan Tuhan hingga membiarkan tubuh melakukan hal-hal terlarang. Ruh akan melewati fase-fase hari akhir dari alam barzakh hingga saat “bertemu” Allah SWT kelak di hari perhitungan.

Puasa memang membuat tubuh terkekang dari waktu imsak hingga datangnya adzan maghrib, tapi disaat bersamaan ruh seorang yang berpuasa akan merasa tenang. Itulah yang menjadi rahasia keseimbangan ajaran Islam. Islam tidak mengajarkan umatnya mementingkan tubuh semata, tapi tidak pula mementingkan rohani saja. Saat tubuh menahan diri dari kebutuhannya, di saat yang sama pula ruh mendapatkan asupannya. Ruh menjadi tenang, nafsu dan ambisinya dapat diredam sehingga dapat lebih merasakan kehadiran Tuhan. Ketika kita berbuka, tubuh sebagai benda akan kembali mendapatkan jatahnya berupa makanan untuk mempertahankan dirinya dan mendapat hak untuk kesehatannya.

Puasa dalah ibadah khusus yang bertujuan agar ruh menjadi suci hingga dapat terhubung dengan “kesucian” Allah SWT. Puasa adalah manifestasi kesaksian manusia kepada Allah SWT. Seseorang dapat meminum seteguk air lalu pura-pura mengeringkan mulutnya supaya dipandang orang ia berpuasa, atau ia dapat saja makan lalu menyeka habis bekas-bekasnya di mulut agar tidak terlihat. Tapi sesungguhnya jiwanya tahu bahwa ia telah melanggar, jiwa tidak dapat berpura-pura puasa. Jiwa tahu jika Allah SWT senantiasa hadir dan menyaksikan.

Rasullulah SAW di dalam sebuah hadits Qudsi mengatakan bahwa berpuasa adalah untuk Allah dan Allah akan langsung mengganjarnya dengan pahala. Sebuah hadits riwayat Imam Bukhori menyebut bahwa puasa dalah benteng. Kita dilarang mengucapkan kata-kata kotor, takabur, arogan, dan congkak. Setiap ada yang mengejek atau berkata buruk kepada kita, Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk menjawabnya dengan kata-kata, “sesungguhnya saya puasa. Sesungguhnya saya puasa”.

Puasa adalah benteng bagi ruh dan hati. Dengan benteng tersebut, ruh tidak akan merespon keburukan dengan keburukan pula. Puasa adalah cara untuk mensucikan batin. Allah SWT telah mengamanatkan puasa, dan setiap manusia wajib untuk menjaga amanat itu. Maka siapa saja yang menyelesaikan ibadah puasa, baik di bulan Ramadhan atau puasa sunnah di hari biasa, berarti ia telah memenangkan dirinya, kesucian kemanusiaanya, serta menjadikan dirinya dekat dengan Allah SWT. Puasa adalah berkah bagi ruh, aspek yang hakiki bagi kemanusiaan kita.


Belum ada Komentar untuk "Hubungan Puasa dengan Ruh Manusia"

Posting Komentar

Mohon tidak mengirimkan SPAM ke Blog ini !
Saling Berbagi Sobat

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

loading...