Bahaya dalam Berdusta (Berbohong)

Bukan barang baru jika umat islam hari ini begitu dibenci oleh musuh-musuhnya. Selalu ada cara dan keinginan untuk menghalangi kebenaran menyebar di tengah masyarakat. Lihat apa yang menimpa kepada utusan Allah SWT, Nabi Muhammad SAW. Oleh kaumnya, bahkan kerabat dekatnya, manusia termulia di dunia ini digelari berbagai julukan negatif. Mulai dari tukang sihir, ahli ramal, hingga pendusta dan kehilangan akal.
Bahkan Rasulullah dituduh berkawan karib dengan setan. “Penyair dan setan telah turun dan menjelma ke dalam diri Muhammad,” demikian provokasi yang disematkan para penentang kebenaran. Nabi SAW juga hanya dianggap sastrawan. Ayat-ayat suci Al Qur’an disebut bait-bait syair yang diucap oleh orang kesurupan setan.
Stigma buruk dan wacana using itu rupanya tak henti menerpa pada pendakwah Islam hingga akhir zaman ini. Sekelompok manusia masih saja mengulang-ulang kata-kata yang bersumber dari hawa nafsu mereka. Kebenaran berpikir dan zaman kekinian (zaman now) kerap jadi kambing hitam. Menurut mereka, segalanya mesti mengikuti zaman modern, termasuk isi al-Qur’an yang harus direvisi atau ditafsirkan sesuai akal manusia dan perkembangan zaman.

هَلْ أُنَبِّكُمْ عَلى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّياطِينُ، تَنَزَّلُ عَلى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ، يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَ كْثَرُهُمْ كا ذِبُونَ

Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dusta. Mereka menghadapkan pendengaran (kepada setan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta.

Tantangan Untuk Pendusta

Secara tersurat, ayat ini menjadi jawaban tegas atas semua yang dituduhkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kabar dari langit tersebut, menurut Syaikh Abdurrahman as-Sa’di, tak hanya menyangkal, tetapi juga menantang siapa saja yang mengatakan demikian. “Maukah kamu Aku kabarkan kepada kjalian berita yang sesungguhnya yang tidak mengandung keraguan sedikit pun dan tidak ada syubhatnya”? Demikian kalam Ilahi tersebut menantang para pendusta kebenaran.
Ayat Makkiyah ini menegaskan, yang kerap mendustai kebenaran itulah yang justru menjadi sasaran nongkrong setan. Siapa saja yang mengingkari kebenaran, maka segala cara akan dilakukan untuk menolak, meski dengan dusta sekalipun. Siapa saja yang terbiasa berbohong, maka bohong itu akan mengantar kepada dusta dan kepalsuan berikutnya. As-Sa’di menegaskan, mereka jujur satu kali, namun akan berdusta seratus kali. Kebenaran sudah sulit dikenali lagi. Ia terlanjur bercampur dengan dusta dan kebathilan. Bukan Cuma berat diikuti, kebenaran tersebut perlahan menjadi sirna dan tak berbekas sama sekali.
Menurut As-Sa’di, itulah ciri orang yang dituruni setan-setan. Ucapannya menarik dan begitu menyihir, tapi kalimatnya mengandung kepalsuan dan janji semu. Bagi orang  yang beriman, kejujuran lebih dari sekedar kewajiban yang diperintahkan. Itu juga menjadi karakter dasar setiap Mukmin.
Lawan dari kejujuran adalah kebiasaan berdusta. Dalam keseharian, dusta biasa dipakai untuk menutupi sesuatu yang disembuyikan. Terlihat indah, tetapi sesungguhnya menabur racun untuk dirinya sendiri.
Rasulullah SAW mengajarkan, menjadi pribadi jujur (al-amin) bukan hanya perkara menghiasi bibir dengan berkata manis. Tapi berkata-kata baik yang lahir dari kesucian hati, kebersihan perbuatan, dan menjaga diri dari segala hal yang diharamkan. Kejujuran adalah kesesuaian antara yang disampaikan oleh lisan dengan apa yang ditunaikan dalam perbuatan. Apakah sama antara Nabi SAW dan orang-orang beriman yang senantiasa memagari diri dengan wahyu, dengan orang-orang yang berkawan dengan setan? Hanya orang yang berakal saja yang bisa menbedakannya.
Sementara Syaikh al_Maraghi mengingatkan untuk berhati-hati dengan kebiasan berdusta. Awalnya mungkin dianggap sepele dan ringan terucap di lidah. Tapi sesungguhnya itu adalah perkara besar dalam timbangan keimanan seorang Muslim. Hidayah dan karunia iman yang mahal seketika bisa musnah gara-gara lisan.
Rasulullah SAW bersabda, “sesungguhnya ada seorang hamba yang benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk keridhaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu Allah menaikkannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya da seorang hamba yang benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk kemurkaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka Jahannam.”
Pokok Kejahatan
Nabi menyebut dusta sebagai pokok dari setiap kejahatan manusia. “… Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke neraka. Jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta (pembohong).” (Riwayat al-Bukhori)
Awal kebiasaan berbohong seperti tak menimbulkan apa-apa. Sebagian manusia justru menganggap just fun (iseng belaka) jika baru saja mengelabui temannya. Namun sejatinya itulah awal dari bahaya kerusakan perilaku dusta itu. Tanpa sadar kebiasan itu akan mengakar pada lisan seseorang. Lidahnya seolah tidak punya lagi sensor untuk membedakan mana perkataan yang jujur dan mana ucapan dusta. Perlahan dampak kerusakan it uterus menyebar tanpa batas pada anggota tubuh lainnya. Akibatnya, yang berdusta tidak hanya perkataan, tapi juga perbuatan dan keadaannya. Bahkan terkadang ia sendiri tertipu. Orang demikian sudah tidak mengenali dirinya sendiri dan hakikat kehidupannya. Ia terseret dalam angan-angan semu, hatinya gelisah dan tidak pernah kenyang dengan keadaan tersebut.
Sebaliknya, orang-orang yang membiasakan dirinya berkata jujur senantiasa dihinggapi perasaan tenang. Kebaikan yang dilakukan bukan karena keuntungan pragmatis sesaat apalagi sekedar pencitraan, ingin dipuji atau disanjung orang lain. Kejujurannya merupakan aplikasi keimanan dan tanggung jawab atas amanah yang diberikan kepadanya. Sehingga apapun hasilnya yang diutamakan ialah kejujuran dalam ucapan dan prilaku. Inilah kunci utama kesuksesan dakwah dan tarbiyah Rasulullah SAW dan orang-orang shalih terdahulu. Mereka senantiasa mengedepankan kejujuran dan menolak dusta kepada sesamanya.
Apa yang diajarkan kepada orang lain, niscaya itu pula yang dikerjakan. Bahkan boleh jadi, ia menjadi yang pertama dan terdepan dalam memberi teladan. Sebagaimana ketika orang itu melanggar satu perbuatan, dia pula yang memberi contoh untuk menghindarinya sejauh mungkin

Belum ada Komentar untuk "Bahaya dalam Berdusta (Berbohong)"

Posting Komentar

Mohon tidak mengirimkan SPAM ke Blog ini !
Saling Berbagi Sobat

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

loading...